BAB
1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Masa
anak pada hakikatnya menjadi bagian yang esensial dari
eksistensiku,eksistensimu,dan eksistensi setiap manusia. Oleh sebab itulah maka
pengertian tentang “being” atu kehidupan anak-anak,baik kehidupan kanak-kanak kita
sendiri maupun dari anak-anak lain,akan sangat berfaedah bagi pemahaman hakikat
manusia (juga pribadi sendiri) dengan begitu kita akan bisa memahami ARTI dan
MAKNA yang sebenarnya dari kehidupan secara lebih mendalam.
Tidak
benar pendapat yang mengatakan bahwa anak merupakan “manusia dewasa dalam
bentuk mini”. Salah pula jika kita berpendapat,bahwa anak merupakan bentuk replik manusia dewasa, in mini-format (dengan
pakaian, gaya, tingkahlaku, pikiran, perasaan, kehidupan batin dan yang
lain-lain yang sama dengan orang dewasa. Jadi dalam pembahasan ini akan dibahas
mengenai aspek-aspek perkembangan anak usia 0-2 tahun yang meliputi
egosentrisme,pembangkangan,dan prilaku lekat.
1.2.Rumusan
Masalah
Dalam pembahasan
aspek-aspek perkembangan ini ada beberapa rumusan masalah yang akan dibahas
diantaranya sebagai berikut :
·
Apa itu perkembangan ?
·
Apa saja aspek-aspek perkembangan usia
0-2 tahun ?
·
Apa saja ciri-ciri dari aspek
perkembangan anak usia 0-2 tahun ?
·
Apa saja penyebab dari aspek-aspek
perkembangan tersebut muncul pada usia anak
0-2 tahun ?
1.3.Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan
adalah sebagai berikut :
·
Untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Pendidikan Anak dalam Keluarga
·
Untuk mengetahui apa saja aspek-aspek
perkembangan yang ada pada diri anak
·
Untuk mengetahui ciri-ciri aspek
perkembangan negatif terhadap anak usia 0-2 tahun
·
Untuk mengetahui cara mengatasi aspek
perkembangan negatif pada anak usia 0-2 tahun
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian
Perkembangan
Perkembangan
ialah perubahan-perubahan psiko-fisik sebagai hasil dari proses pematangan
fungsi-fungsi psikis dan fisik pada anak, ditunjang oleh faktor lingkungan dan
proses belajar dalam rentang waktu tertentu, menuju kedewasaan.
Perkembangan
dapat diartikan pula sebagai proses transmisi dari konstitusi psiko-fisik yang
herediter, dirangsang oleh faktor-faktor lingkungan yang menguntungkan, dalam
perwujudan proses aktif menjadi secara kontinue.
2.2 Aspek-aspek
Perkembangan Usia 0-2 Tahun
1. Egosentrisme
Egosentris
adalah pemusatan pada diri-sendiri, memandang segalanya pada diri-sendiri, merasakan
sesuatu untuk dirinya sendiri. Rasa egosentris yang timbul pada individu
dikarenakan adanya rasa keingintahuan terhadap sesuatu yang dipandang, yang
diamati, dirasakan dan dipikirkan hanya diarahkan pada dirinya saja. Tidak
menempatkan dirinya pada orang lain.
2. Pembangkangan
Merupakan
suatu tindakan anak-anak yang terbentuk karena adanya proses yang tidak sesuai
dengan usianya, oleh karena itu perilaku membangkang merupakan suatu bentuk
prilaku yang harus dijalani anak dalam tahapan, pengertian dan pemahaman
terhadap dunia di luar dirinya, sehingga anak dapat membedakan antara dirinya
dengan lingkungan nya.
3. Perilaku
Lekat
Tingkah
laku lekat (attachment behavior) merupakan tingkah laku yang khusus pada
manusia, yaitu kecenderungan dan keinginan seseorang untuk mencari kedekatan
dengan orang lain, untuk mencari kepuasan dalam hubungan dengan orang lain
tersebut (Monks dkk., 2001).
4. Bahasa
Bahasa
merupakan sarana berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini tercakup
semua cara untuk berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan dinyatakan dalam
bentuk tulisan, lisan, isyarat atau gerak dengan menggunakan kata-kata, kalimat
bunyi, lambang, gambar atau lukisan.
5. Intelegensi
Menurut
David Wechsler, inteligensi adalah
kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan
menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan
bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir
secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara
langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang
merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
6. Sosialisasi
Pengertian
sosialisasi secara umum dapat diartikan sebagai proses belajar individu untuk
mengenal dan menghayati norma-norma serta nilai-nilai sosial sehingga terjadi
pembentukan sikap untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan atau perilaku
masyarakatnya.
7. Emosi
Emosi
merupakan suatu keadaan atau perasaan yang bergejolak dalam diri individu yang
sifatnya disadari. Menurut Goleman (1995) menyatakan bahwa emosi merujuk kepada
suatu perasaan, atau pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan
psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
8. Bermain
Bermain
merupakan salah satu kebutuhan penting bagi anak dan orang tua harus menyadari
itu dan tidak melarang anak-anaknya untuk bermain. Orang tua justru harus
mengarahkan serta memfasilitasi anaknya untuk bermain. Dengan bermain, anak
bisa belajar untuk beradaptasi, bersosialisasi, serta bisa bebas berekspresi.
9. Peran
stimulasi
Stimulasi adalah
perangsangan yang berasal dari lingkungan luar anak. Stimulasi merupakan hal
yang sangat penting dalam perkembangan kognitif anak. Stimulasi yang terarah
akan mempercepat perkembangan anak dibanding yang kurang mendapatkan stimulasi
BAB III
PEMBAHASAN
Sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam kajian teori di atas, mengenai perkembangan dan
aspek-aspek perkembangan anak usia 0-2 tahun. Maka dalam bab pembahasan,
penulis lebih menyudutkan aspek perkembangan anak usia 0-2 tahun yang meliputi
egosentrisme, pembangkangan dan perilaku lekat.
3.1
Egosentrisme
Egosentris
adalah pemusatan pada diri-sendiri, memandang segalanya pada diri-sendiri,
merasakan sesuatu untuk dirinya sendiri. Rasa egosentris yang timbul pada
Individu dikarenakan adanya rasa keingintahuan terhadap sesuatu yang dipandang,
yang diamati, dirasakan dan dipikirkan hanya diarahkan pada dirinya saja. Tidak
menempatkan dirinya pada orang lain.
Egosentrisme
tidak sama dengan egois. Egois merupakan suatu sikap yang menunjukkan ketamakan,
kepentingan, dan kemauan yang berlebihan terhadap hak orang lain terhadap dirinya.
Ketamakan dapat dilihat misalkan pada anak yang ingin menguasai semuanya
walaupun itu bukan miliknya dan bahkan merusak. Egois sebagai salah satu sifat
manusia sangat merugikan terutama dirinya sendiri.
Jadi,
Egosentris menimbulkan perasaan ingin tahu sesuatu yang sifatnya baru dan
menarik bagi anak itu sendiri, atau biasa sering melihat suatu benda yang ada
di sekitarnya. Ia tidak menghiraukan, namun suatu saat ketika ia melihat benda
yang sama, pada tempat yang sama, bersamaan dengan rasa keingintahuannya,
kemudian berusaha untuk menghampiri, meraba atau memegangnya. Rasa
keingintahuannya ini yang disebut Egosentris.,
Sebaliknya, egosentrisme berlangsung secara tidak
sadar, dan merupakan sikap batin yang dimiliki seseorang sebagai
pembawaan.
Sesuai dengan tahapan perkembangan
anak, usia pada saat itu termasuk dalam konseptual, dimana rasa egosentris
tertuju hanya pada suatu benda yang diamati, untuk dikenal dan mengerti
terhadap benda tersebut. Anak belum mengerti kepunyaan siapa benda itu dan
bagaimana benda tersebut. Jadi apabila ada anak yang mengambil barang milik
orang lain, itu karena ia tidak mengetahui bahwa barang yang diambilnya itu
milik orang. Hasil observasi terhadap anak yang berusia 18 – 24 bulan
menunjukkan bahwa;
1. Egosentris muncul saat anak melihat suatu
benda yang baru dan belum dikenal dalam pengertiannya
2. Egosentris ini tercapai saat anak mempunyai
kesempatan untuk mengenal dan memegang beda yang dilihat dan belum dikenalnya
3. Anak akan meninggalkan benda yang
dikenalnya bila benda tersebut tidak dapat dieksplolarisasi
4. Rasa egosentris bertambah besar saat benda
yang diinginkan tidak dapat diraihnya atau ada sesuatu yang menghambatnya.
Egosentris
benda terhambat dikarenakan rasa ketakutan atau banyak larangan terhadap anak
yang baru muncul rasa keingintahuan, sering disalahkan dalam memegang dan
memainkan sesuatu, dan hal ini memunculkan perilaku;
·
Suka mengganggu teman-temannya dengan
mencubit, memukul, dan mendorong
·
Suka merebut benda temannya atau
mengambil makanan temannya, mengumpat dan merusak mainan dan benda orang lain
·
Tidak mempunyai keinginan melakukan
aktivitas atas anjuran atau suruhan orang lain
·
Perhatian terpecah , sukar untuk
konsentrasi dan cepat lelah dalam melakukan aktivitas
·
Aktivitasnya berlebihan dan motorik
kasarnya yang lebih dominan daripada motorik halusnya, sehingga anak terhambat
dalam menulis. Sementara anak yang terpusatkan rasa keingintahuannya atau
egosentrisnya mempunyai kesempatan untuk menuangkan rasa keingintahuannya, maka
anak siap untuk melanjutkan perkembangan berikutnya.
Tips mencegah anak
menjadi egois:
1. Orang
tua member contoh peduli terhadap orang lain, dengan salaing berbagi kepada
orang lain, memberi perhatian dan empati kepda orang lain.
2. Orang
tua harus bersikap adil pada setiap anak sesuai kebutuhan.
3. Orang tua dapat memberikan penghargaan kepada
anak jika berhasil, jika gagal orang tua harus memberikan pemahaman dan tetap
memberikan motivasi.
4. Sejak
dini sebaiknya anak diberikan tanggung jawab. Hal ini bertujuan untuk melatih
kepedulian terhadap orang lain dan dapat berbagi dengan orang lain.
5. Ajarkan
anak berempati pada lingkungannya, dengan memberikan contoh langsung.
6. Orang tua menunjukkan dan mendiskusikan hal
positif jika anak memperhatikan orang lain. Anak diberi kesempatan untuk
berteman, bekerjasama dan menolong orang lain. Dan mendiskusikan akibat negatif
kalau egois.
7. Beri
ananda motivasi dan pujian jika dapat berbagi dan menolong orang lain,
munculkan perasaan puas pada diri sendiri jika sianak dapat melakukan kebaikan.
3.2 Pembangkangan
Membangkang adalah perilaku yang sedang trend
belakangan ini, banyak anak yang mementingkan ego nya sendiri tanpa menghiraukan
perintah dari orang tuanya. Mengapa begitu? Perilaku tersebut merupakan suatu
tindakan anak-anak yang terbentuk karena adanya proses yang tidak sesuai dengan
usianya, oleh karena itu perilaku membangkang merupakan suatu bentuk prilaku
yang harus dijalani anak dalam tahapan, pengertian dan pemahaman terhadap dunia
di luar dirinya, sehingga anak dapat membedakan antara dirinya dengan lingkungan
nya. Tahapan ini sering disebut dengan masa diferensiasi.
Proses pembangkangan pada anak diawali dengan rasa
tidak nyaman pada diri anak, rasa tidak aman dan rasa ketidaksukaan pada
dirinya maupun lingkungannya.
Ciri-ciri
pembangkangan pada anak:
·
Tidak ada kontak atau interaksi antara
dirinya dengan orang yang menjadi pembangkangnya
·
Sikapnya menunggu orang yang menjadi
pembangkangannya. Jika sedang asyik bermain, maka dalam bermain yang semula
aktivitasnya cepat, bila terjadi pembangkangan maka aktivitasnya menjadi
lambat.
·
Anak sering mengalami kebosanan dalam
bermain, berpindah dari satu permainan kepada permainan lain dalam waktu
singkat, sehingga dalam bermain anak menimbulkan kelabilan afektif, yaitu emosi
tempo tantrum(naik turun emosinya).
·
Dalam meminta atau berinteraksi dengan
orang tua dan yang lebih besar, menunjukan perilaku yang tidak tetap, serba
salah.
·
Memang akhir-akhir ini anak melakukan
pembangkangan yang sangat sulit ditebak dan diprediksi orang tua, banyak anak
yang memberikan kejutan dengan perilaku yang bertentangan dengan harapan orang
tua.
Oleh
karena itu pembangkangan saat ini dapat dibagi mejadi 3 kategori :
·
Pembangkangan Pasif, pada pembangkangan ini perilaku anak dalam
menanggapi reaksi orang lain dengan pasif, karena ia tidak mengerti apa yang
dikehendaki orangtua atau yang di ingini orang tua terhadapnya. Karena
ketidaktahuannya, maka anak diam dan tidak melakukan suatu reaksi terhadap
perintah dan intervensi orang lain terhadapnya.
·
Pembangkangan Perilaku, dalam
pembangkangan ini anak tidak diam, bersembunyi atau lari dari lingkungan,
melainkan menggunakan tingkah laku penolakan dengan mengadakan suatu gerakan
atau perbuatan yang menyebabkan orang lain sebel, jengkel atau tidak suka. Perilaku
yang dilakukan anak dalam pembangkangan ini menunjukan bahwa ia mempunyai suatu
keinginan yang belum terselesaikan. Bisa jadi ia tidak siap, tidak berkeinginan
dan tidak senang dengan interaksi orang lain terhadapnya.
·
Pembangkangan Sikap, pembangkangan yang
dialami pada umunya anak berusaha mengadakan penolakan dalam bentuk diam, atau
tidak mengerjakan apa yang telah diperintah, disuruh dan di inginkan orang lain
pada dirinya.
Penyebab
pembangkangan pada umumnya karena sering anak disalahkan.Sikap anak menjadi
kasar bila sikap membangkang anak diterjemahkan dan diartikan oleh oran tua
sebagai anak yang tidak mau menurut, tidak sopan atau tidak patuh yang dengan
itu orang tua mulai mengadakan penekanan kalimat “harus”, bisa memaksakan anak
untuk melakukan perintah itu agar jangan menjadi kebiasaan
Program pengendalian tingkah laku kasar merupakan
suatu proses penyelesaian yang dimulai dengan mengkonseling anak yang
bertingkah kasar, yang kemudian baru diberikan program dengan tahapan-tahapan.
Berikut tahapan yang dimulai secara umum:
·
Menciptakan suasana rumah yang
menyenangkan, rasa aman, dan rasa bebas dari tekanan, dengan cara:
o
Memberikan perasaan yang menyenangkan,
penerimaan anak dengan rasa senang
o
Memberikan kesempatan dan kebebasan
untuk melakukan apa saja yang tidak merusak dan menghancurkan barang-barang
o
Tidak ada paksaan untuk melakukan apa
saja yang diminta ibunya dan ayahnya
o
Mengajak bermain bersama, berpergian
bersama, dan melakukan makan bersama-sama dengan diawali mengajak tanpa paksaan.
o
Berikan pelukan saat ia dalam
kebingungan, dan saat dia akan berusaha melawan dan yang terutama saat ia
pulang kerumah.
·
Mengadakan perubahan pikiran dan
perasaan ibunya yang menyatakan bahwa anaknya sangat nakal atau bertingkah
kasar. Melihat anak bisa dikendalikan dengan baik dan siap menjadi anak baik
dengan cara sebagai berikut :
o
Perhatikan semua yang baik dari ucapan
sampai perilaku yang baik saja, yang tidak baik jauhkan dari pikiran kita.
o
Memanggil dengan bahasa yang baik, “anak
ibu yang baik, pinter dsb”
o
Sampaikan pesan kebaikan,”kamu akan menjadi
orang baik…..dll”
o
Mendengarkan apa yang ingin diucapkan
tanpa memberikan komentar yang bertentangan atau penolakan.
o
Memberikan kepercayaan padanya untuk
melakukan yang dibutuhkan kita dan meminta tolong sesuatu yang ia mampu
melakukannya.
o
Mengadakan tindakan dengan memberikan
konsekuensi atas prilaku kasar dan prilaku yang tidak menyenangkan baik dirinya
maupun sekelilingnya, dengan melakukan sebagai berikut:
o
Mengatakan dengan tegas, singkat, jelas
dan pasti, “ibu tidak suka perbuatanmu ini, tinggalkan dan lakukan yang lain”
o
Menolak salah satu yang menjadi
kebutuhannya dan yang sangat diharapkannya kemudian tetap untuk tidak
memberikan keinginannya itu meskipun ia sudah meminta maaf dan merayu
o
Hindari rengekan dan rayuan yang dapat
memberikan rasa kasih dan simpati kita padanya, usahakan untuk tidak mencabut
kata-kata “tidak” dan “tidak suka” kita atas perbuatannya itu.
o
Sabar dan konsisten selalu berusaha
terus tanpa menyerah, sehingga kita tidak terkendali dengan perilaku kasarnya.
3.3 Perilaku lekat
Tingkah laku lekat (attachment behavior) merupakan
tingkah laku yang khusus pada manusia, yaitu kecenderungan dan keinginan
seseorang untuk mencari kedekatan dengan orang lain, untuk mencari kepuasan
dalam hubungan dengan orang lain tersebut (Monks dkk., 2001).
Menurut Monks
dkk., pada kelekatan maka pemenuhan keinginan bukanlah merupakan hal yang
pokok, namun hal tersebut menjadi penting pada tingkah laku ketergantungan.
Berbeda dengan kelekatan, ketergantungan dapat ditujukan pada sembarang orang,
namun kelekatan selalu tertuju pada orang–orang tertentu saja. Tingkah laku
lekat lanjut Monks dkk., pada anak kecil dapat dilihat sebagai berikut:
menangis bila obyek lekatnya pergi, senang dan tertawa bila obyek lekatnya
kembali, kemudian juga mengikuti dengan mata, arah menghilangnya obyek lekat
tersebut. Tingkah laku lekat ini berkembang di tahun – tahun pertama usia anak
(Monks dkk., 2001).
1)
Munculnya tingkah laku lekat
Ada beberapa pendapat mengenai
timbulnya tingkah laku lekat (Monks dkk., 2001), yaitu adalah sebagai berikut:
a.
Hipotesis mengenai nafsu sekunder
Pendapat
ini mengatakan bahwa ketergantungan sosial terjadi karena ketergantungan fisik
melalui proses belajar; misalnya bila nafsu primer anak selalu terpenuhi oleh
orang tertentu atau bila dekat dengan orang tersebut, maka orang tertentu itu
akan memperoleh nilai positif bagi anak dan terjadilah pada anak nafsu sekunder
terhadap orang tertentu itu, yaitu orang yang mengasuhnya. Anak kemudian akan
melekatkan dirinya pada orang yang mengasuhnya tersebut.
b.
Keterangan kedua memiliki sifat kognitif persepsual
Anak
merasa tertarik pada seseorang karena sifat–sifat persepsualnya atau
sifat–sifat yang dapat dilihat pada anak. Pada mulanya, roman wajah manusia
memiliki daya tarik yang alami bagi anak. Bila anak seringkali melihat orang
tertentu, maka anak akan mengenal sifat–sifat khusus orang tertentu itu. Bila
orang tersebut ada di dekat anak, maka anak akan merasa aman. Bila ada orang
asing datang, maka anak akan mengetahui perbedaannya antara orang asing dengan
orang yang telah dikenalnya sebelumnya. Anak akan bersikap negatif terhadap
orang yang asing tersebut. Dalam hal ini kelekatan diterangkan oleh proses
belajar pengamatan. Pengamatan berulang–ulang terhadap orang–orang tertentu
menimbulkan kelekatan.
2).
Control theory of attachment (Bowlby)
Bowlby berpendapat bahwa timbulnya
kelekatan anak terhadap figur lekat (biasanya ibu) adalah suatu akibat dari
aktifnya suatu sistem tingkah laku (behavioral system) yang membutuhkan
kedekatan dengan ibu (Bowlby dalam Monks dkk, 2001). Bowlby mengatakan, jika
anak ditinggalkan ibu atau dalam keadaan takut, sistem tingkah laku tadi segera
menjadi aktif dan hanya bisa dihentikan oleh suara, penampilan, atau rabaan
ibu. Kebutuhan anak untuk melekatkan diri, mengikuti, menangis dan tertawa juga
merupakan hal–hal penyebab timbulnya tingkah laku lekat anak. Tetapi, apa yang
dimaksudkan dengan sistem tingkah laku adalah lebih dari itu.
Menurut Bowlby, sistem tingkah laku
adalah suatu kumpulan tingkah laku yang lebih kompleks dan bertujuan, yang
timbul antara bulan ke-9 dan ke-18 usia anak. Sistem tingkah laku ini
berkembang karena interaksi anak dengan lingkungannya, terutama dengan ibu.
Berdasarkan hal ini, maka menurut Bowlby tingkah laku lekat tadi termasuk
kelompok tingkah laku sosial. Sehingga tingkah laku lekat sebagai akibat dari
aktifnya suatu sistem tingkah laku disebut control theory of attachment
behavior.
Dalam teorinya pula Bowlby
menjelaskan tentang keadaan anak yang kehilangan obyek kelekatan untuk waktu
yang agak lama dalam tahun–tahun pertama. Hal ini seperti yang terjadi pada
anak adopsi bila pengadopsiannya dilakukan secara paksa atau tidak mementingkan
persetujuan anak yang akan diadopsi. Bowlby mencatat tiga stadium tingkah laku
anak dalam dituasi semacam itu, yaitu:
fase
protes: menangis, agresi, tidak mau makan
fase
putus asa: interaksi normal dengan anak–anak dan orang dewasa lain, tetapi acuh
terhadap orangtuanya bila ditengok (dikunjungi).
Pada
perpisahan yang lama akan menunjukkan tingkah laku tak perduli terhadap kontak
dengan orang lain.
3).
Penggantian Obyek Kelekatan
Kemudian
akan menimbulkan pertanyaan baru: faktor apakah yang menentukan siapa yang akan
menjadi obyek kelekatan pada anak? Dalam Monks dkk., (2001) disebutkan bahwa,
ternyata faktor pengasuhan bukan merupakan hal yang menentukan, karena 20%
kelekatan pertama ditujukan pada orang yang sama sekali tidak berurusan dengan
pengasuhan anak. Ada dua macam tingkah laku yang menyebabkan seseorang dipilih
sebagai obyek kelekatan (Monks dkk, 2001), yaitu:
1.
Sering mengadakan reaksi terhadap tingkah laku anak yang dimaksudkan untuk
menarik perhatian.
2.
Sering membuat interaksi secara spontan dengan anak.
Obyek
kelekatan tidak selalu hanya satu orang saja. 1/3 dari jumlah anak sejak awal
mempunyai kelekatan dengan orang yang berbeda–beda, dan pada usia 1,5 tahun hal
tersebut merupakan keadaan yang biasa (Monks dkk, 2001). Ibu biasanya memiliki
kedudukan yang paling atas, tetapi pada usia 1,5 tahun, 1/3 dari jumlah anak
mempunyai orang lain (bukan ibu) sebagai obyek lekat yang pertama. Bila anak
ada di dekat obyek lekat, timbullah keberanian untuk bereksplorasi. Sebaliknya
anak akan mengalami ketakutan untuk berpisah dengan obyek lekatnya.
Menurut
Maccoby (dalam Ervika, 2000) seorang anak dapat dikatakan lekat pada orang lain
jika memiliki ciri-ciri antara lain:
a.
Mempunyai kelekatan fisik dengan seseorang
b.
Menjadi cemas ketika berpisah dengan figur lekat
c.
Menjadi gembira dan lega ketika figur lekatnya kembali
d.
Orientasinya tetap pada figur lekat walaupun tidak melakukan interaksi. Anak
memperhatikan gerakan, mendengarkan suara dan sebisa mungkin berusaha mencari
perhatian figur lekatnya
Secara
umum pengelompokan tingkah laku lekat adalah sebagai berikut:
a. Signaling Behavior (Bowlby dan Ainsworth
dalam Adiyanti, 1985).
Efek dari tingkah laku ini adalah mendekatnya
ibu pada anak. Ada beberapa bentuk tingkah laku yang termasuk signaling
behavior,
antara
lain:
1) Menangis
2) Tersenyum
dan Meraban
3) Tanda
Acungan Tangan (gesture raised arms)
4) Mencoba Menarik Perhatian
b.
Approaching Behavior
Tingkah laku ini menyebabkan anak mendekat
pada ibu, hal ini membuktikan bahwa seseorang itu mempunyai kecenderungan untuk
selalu dekat dengan orang lain. Ada beberapa kategori tingkah laku yang
termasuk dalam approaching behavior, yaitu:
- Mendekat dan mengikuti
- Clinging
- Menghisap
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
4.1
Kesimpulan
Jadi,
dalam perkembangan anak usia 0-2 tahun memiliki aspek-aspek perkembangan yang
meliputi egosentrisme, pembangkangan, dan perilaku lekat. Oleh karena itu
setiap anak dibawah umur 3 tahun hampir selalu bersikap seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Dia belum bisa memahami bahwa suatu peristiwa tertentu
itu bagi orang lain mempunyai arti yang lain sekali, berbeda dengan pengertian
anak tersebut.
Perilaku
ibu dianggap memegang peranan penting dalam perkembangan anak karena ibu
memegang peranan penting di awal kehidupan seorang anak. Anak mendapatkan kesan
pertama mengenai dunia melalui perilaku dan sikap ibu terhadap anak terutama di
awal usianya. Jika ibu berlaku baik maka kesan anak tentang dunia dan
lingkungan positif dan sikap anak juga akan menjadi positif.
4.2 Saran
Pintu
gerbang kekerasan hati anak akan terbuka lebar saat kita mau menerima dan
mengerti anak kita, dan anak akan mempersilahkan kita masuk dan bertamu didalam
lubuk hatinya yang paling dalam. Ditempat itulah kita dapat meletakan pesan,
arahan dan masukan positif bagi kebaikan masa depan anak dengan :
-
Jangan Banyak Melarang. Karena berisiko
cedera maka wajar kalau orang tua punya rasa kawatir dan banyak melarang, bahka
ada juga orang tua yang sudah mulai melarang ketika anak baru ancang-ancang.
Melarang sebenarnya bisa berdampak pada 2 hal, yaitu pertama: anak menjadi
punya ketakutan berlebihan hingga tidak berani melakukan aktivitas lain yang
cukup menantang. Hal ini berakibat lebih jauh kepada dibayangi rasa bersalah
dan takut gagal, yang akibatnya si anak menjadi tidak berani mencoba hal-hal baru.
Dengan kata lain ia tumbuh menjadi anak yang pasif dan tidakpunya ide atau
gagasa yang kreatif. Kedua: melakukan sembunyi-sembunyi atau di saat tidak
dilihat orang tuanya, hal ini lebih berbahaya karena tanpa pengawasan.
- Beri
Peringatan. Daripada melarang lebih baik memberikan peringatan. Misalnya,
“Kalau Adik manjat pagar, nanti kaki adik bisa terluka oleh besi runcing itu!
Sakit kan?” Bila cara ini masih tidak mempan, coba alihkan perhatiannya dengan
menawarkan aktivitas yang lain yang sama-sama menantang namun relatif lebih
aman.
-
Beri Reward. Beri reward berupa puijan atau pelukan
atas keberhasilan atau apa pun yang telah dilakukan si kecil dengan baik.
Sebaliknya bila anak menemui kegagalan saat melakukan aktifitas tertentu,
besarkan semangatnya agar mau bangkit lagi dan termotivasi untuk mencoba
kembali.
- Beri
Kesempatan. Dengan memberi kesempatan pada si kecil untuk memanjat, selama
tidak membahayakan dirinya sebenarnya memiliki manfaat besar. Minimal kehidupan
emosionalnya jadi lebih baik, rasa percaya diri makin mantab. Karena anak jadi
punya kebanggaan tersendiri bahwa dia mampu melakukan aktifitas lain.
- Jangan
Panik. Orang tua sering panik hingga berteriak ketika anak melakukan
tindakan berbahaya seperti memanjat, lari atau koprol. Padahal, berteriak panik
ketika anak sudah mulai berguling atau manjat justru hanya akan membuat anak
panik. Teriakan orang tua bisa saja menyebabkan gerakannya jadi kaku/tidak
terkontrol yang berakibat ia justru jatuh atau terkilir. Jadi coba sikapi
dengan santai, kemudian sigap di sampingnya menjaga kemungkinan yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Machmud , Hadi. Psikologi perkembangan. CV
Shandra. Kendari. 2010
Adiyanti.
M.G., (1985). Perkembangan Kelekatan Anak. Tesis. Yogyakarta: Program
Studi
Psikologi Pascasarjana UGM.
Bretherton,
I., Golby, B., & Cho, Eunyoung., (1997). Attachment and Transmission of
Kartini
Kartono, Psikologi Anak, CV. Mandar Maju. Bandung. 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar