Minggu, 08 November 2015

Teori Perkembangan Moral Menurut KHOLBERG dan THOMAS LICKONA


 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dalam beberapa tingkat perkembangan banyak sekali hal yang harus manusia ketahui betapa pentingnya perkembangan yang dilewati oleh setiap orang dari tahap pertama sampai tahap terakhir. Perkembangan tersebut bermacam-macam aspeknya baik berupa kognitif,sosial, fisik, bahasa ataupun moral.
zaman globalisasi ini pendidikan di indonesia lebih banyak menekankan pendidikan merujuk kedalam konteks daya cipta atau kognitif dan ilmu pengetahuan yang lainnya. Padahal perkembangan tingkah laku, sosial, ataupun moral sangatlah penting untuk diajarkan kepada siswa-siswi di sekolah. Apalagi diterapkan terhadap Pendidikan Anak Usia Dini, peran guru sangatlah penting dalam memberikan stimulus sosial atau moral yang baik  kepada peserta didik. Apabila perkembangan ini di terapkan di indonesia maka sangat mungkin pendidikan indonesia lebih  maju dan terpandang baik oleh negara lain. Dimana, sistim pendidikannya mempunyai kelebihan yang berbeda dari pendidikan lain.
Dalam makalah ini akan menjelaskan perkembangan moral menurut Lawrence Kohlberg dan Thomas Lickona. Lawrence Kohlberg dan  Thomas Lickona merupakan tokoh yang menjelaskan tentang perkembangan moral.perkembangan tersebut mempunyai tahapan-tahapan tertentu, di dalam perkembangan moral menurut Kholberg dan Lickona menjelaskan pula tentang penanan, prinsip dan model pendidikan nilai moral.
1.1.Rumusan Masalah
1.      Siapa Lawrence Kohlberg dan Thomas Lickona?
2.      Apa yang dimaksud dengan moral?
3.      Apa yang dimaksud dengan moral menurut Lawrence Kholberg?
4.      Apa saja tahapan-tahapan moral menurut Lawrence Kholberg?
5.      Apa yang dimaksud dengan kode moral menurut Lawrence Kholberg?
6.      Apa peranan disiplin dalam perkembangan moral menurut Lawrence Kholberg?
7.      Apa prinsip filosofis-eoritis menurut Lawrence Kholberg?
8.      Apa saja model pendekatan pendidikan nilai moral menurut Thomas Lickona?
1.2.Tujuan
1.      Dapat mengetahui biografi Lawrence Kholberg dan Thomas Lickona.
2.      Dapat mengetahui pengertian moral.
3.      Dapat mengetahui moral menurut Lawrence Kholberg.
4.      Dapat mengetahui tahapan-tahapan moral menurut Lawrence Kholberg.
5.      Dapat mengetahui kode moral menurut Lawrence Kholberg.
6.      Dapat mengetahui peranan disiplin dalam perkembangan moral menurut Lawrence Kholberg.
7.      Dapat mengetahui prinsip filosofis- eoritis menurut Lawrence Kholberg.
8.      Dapat mengetahui model pendekatan pendiidkan nilai moral menurut Thomas Lickona.



II
Pembahasan
2.1. Biografi Lawrence Kholberg dan Thomas Lickona
2.2. Pengertian Moral
Istilah moral berasal dari kata latin “mores”yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat atau kebiasaan. Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi. Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku indipidu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu tersebut menjadi anggota komunitas sosial. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan.
Tokoh yang paling dikenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan moral adalah Lawrence E. Kholberg (1995). Melalui disertasinya yang sangat monumental yang berjudul “ The Development of Modes Of Moral Thinking and Choice in the Years 10 to 6” yang diselesaikan di University of Chicago pada tahun 1958, dia melakukan penelitian empiris lintas kelompok usia tentang cara pertimbangan moral terhadap 75 orang anak dan remaja yang berasal dari daerah sekitar Chicago. Anak-anak itu dibagi menjadi tiga kelompok usia, yakni kelompok usia 10,13, dan 16 tahun. Penelitiannya dilakukan dengan cara menghadapkan para subjek penelitian/responden kepada berbagai dilema moral dan selanjutnya mencatat semua reaksi mereka. Dalam pandangan Kholberg, sebagaimana juga pandangan Jean Piaget (salah seorang yang dikaguminya), berdasarkan penelitiannya itu sangat tampak bahwa anak-anak dan remaja itu menafsirkan segala tindakan dan perilakunya sesuai dengan struktur mental mereka sendiri. Mereka menilai hubungan sosial dan perbuatan tertentu sebagai “adil” atau “tidak adil”, “baik” atau “buruk” juga seiring dengan tingkat perkembangan atau struktur moral mereka masing-masing.
2.3. Pengertian Moral menurut Lawrence Kholberg
Berdasarkan penelitiannya, dari pengertian diatas Kholberg menarik sejumlah kesimpulan sebagai berikut:
1.      Penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan moral bukanlah soal perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung suatu tafsiran kognitif terhadap keadaan dilema moral dan bersikap konstruktif kognitif yang bersifat aktif terhadap titik pandang masing-masing individu sambil mempertimbangkan segala macam tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan setiap pribadi terhadap sesuatu yang baik dan adil. Kesemuanya itu merupakan tindakan kognitif;
2.      Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawakan perbuatan moralnya;
3.      Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral. Sebagaimana  penelitian Piaget telah membuktikan bahwa baru pada masa remaja pola pemikiran operasional-formal berkembang. Demikian pula Kholberg menunjukan adanya kesejajaran dengan perkembangan kofnitif dengan perkembangan moral, yaitu bahwa pada masa remaja dapat juga dicapai tahap tertinggi perkembangan moral yang ditandai dengan kemampuan remaja menerapkan prinsip keadilan universal pada penilaian moralnya.
2.4. Tahap-tahap Perkembangan Moral menurut Lawrence Kholberg
Adapun tahap-tahap perkembangan moral yang sangat dikenal keseluruh dunia adalah yang dikemukakan oleh Lawrence Kholberg (1995), yakni sebagai berikut:
1.      Tingkat Prankonvensional
Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk serta benar dan salah. Namun demikian, semua ini masih ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan, seperti: hukuman, keuntungan, dan pertukaran kebaikan atau dari segi kekuatan fisik mereka yang memaklumkan peraturan.
Tingkat prakonvensional ini memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan
Pada tahap ini, akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya.
Tahap 2: orientasi relativis-instrumental
Pada tahap ini, perbuatan yang dianggap benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar yang berorientasi pada untung rugi. Disini terdapat pada elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini dilukiskan oleh Kholberg (1995) dengan kalimat: “jika engkau mau menggarukan punggungku, maka aku juga akan menggarukan punggungmu”. Jadi hubungan disini bukan atas dasar loyalitas, rasa terima kasih, atau keadilan.
2.      Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok, atau masyarakat. Semua itu dipandang sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri tanpa mengindahkan akibat yang bakal muncul. Sikap anak bukan saja konformitas terhadap pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung, dan membenarkan seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasikan diri dengan orang atau kelompok yang terlibat.
Tingkat konvensional ini memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau disebut orientasiAnak Manis
Pada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereo tipe mengenai apa itu perilaku mayoritas atau alamiah. Perilaku sering dinilai menurut niatnya sehingga seringkali muncul pikiran dan ucapan “ sebenarnya dia bermaksud baik” . Mereka  berpandangan bahwa orang akan mendapatkan persetujuan orang lain dengan cara menjadi orang yang baik.
Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas, dan menjaga tata tertib sosial yang ada. Semua ini dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya.
3.      Tingkat Pascakonvensional, Otonom, atau Berlandaskan Prinsip
Pada tingkat ini, terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut.
Tingkat ini memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 5: Orientasi Kontak Sosial Legalitas
Pada tahap ini,individu pada umumnya bernada utilitarian. Artinya, perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini juga sudah terdapat kesadaran yang  jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai relativisme nilai tersebut, terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan, terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, dan hak adalah masalah “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya dalah penekanan pada sudut pandang legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasaarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial. Diluar bidang hukum, persetujuan bebas dan kontrak merupakan unsur pengikat kewajiban.
Tahap 6: Orientasi Prindip Etika Universal
Pada tahap ini, hak ditentukan oleh keputusan suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri yang mengacu kepada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis serta bukan merupakan peraturan moral konkret. Pada daasarnya, inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas, dan persamaan hak azasi manusia, serta rasa hormat kepada manusia sebagai pribadi.
Berdasarkan tingkatan dan tahap-tahap perkembangan moral itu, kemudian Kohlberg (1995) menerjemahkannya kedalam motif-motif individu dalam melakukan perbuatan moral. Sesuai dengan tahap-tahap perkembangan moral, maka motif-motif perilaku moral manusia adalah sebagai berikut:
Tahap 1: perbuatan moral individu dimotivasi oleh penghindaran terhadap hukumandan suara hati pada dasarnya merupakan ketakutan irasional terhadap hukuman.
Tahap 2: perbuatan moral individu dimotivasi oleh keinginan untuk mendapat ganjaran dan keuntungan. Dangat boleh jadi reaksi rasa bersalah diabaikan dan hukuman dipandang secara pragmatis sehingga membedakan rasa takut, rasa nikmat, atau rasa sakit dari akibat hukuman.
Tahap 3: perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan orang lain, baik yang nyata atau yang dibayangkan secara hipotesis.
Tahap 4: perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap  celaan yang mendalam karena kegagalan dalam melaksanakan kewajiban dan rasa diri bersalah atas kerugian yang dilakukan terhadap orang lain.
Tahap 5: perbuatan moral individividu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap supaya mempertahankan rasa hormat terhadap orang lain dan masyarakat yang didasarkan atas akal budi dan bukan berdasarkan emosi, keprihatinan terhadap rasa hormat bagi diri sendiri. Misalnya, untuk menghindari sikap menghakimi diri sendiri sebagai makhluk yang tidak rasional, tidak konsisten, dan tanpa tujuan.
Tahap 6: perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap sikap mempersalahkan diri karena melanggar prinsip-prinsipnya sendiri. Individu cenderung membedakan antara rasa hormat dari masyarakat dengan rasa hormat diri sendiri, antara rasa hormat terhadap diri karena mencapai rasionalitas dengan rasa hormat terhadap diri sendiri karena mampu mempertahankan prinsip-prinsip moral.
Disamping itu pula Piaget dan Kohlberg menekankan bahwa pemikiran seorang anak, terutama ditentukan oleh kematangan kapasitas kognitifnya. Sedangkan disisi lain, lingkungan sosial merupakan pemasok materi mentah yang akan diolah oleh ranah kognitif anak secara aktif. Dalam interaksi sosial dengan teman-teman sepermainan sebagai contoh, terdapat dorongan sosial yang menantang anak tersebut untuk mengubah orientasi moralnya.
Pada tahap perkembangan kognitif yang memungkinkan sikap dan prilaku egosentrisme seorang anak berkurang, lazimnya pertimbangan moral (moral reasoning) anak tersebut menjadi lebih matang. Sebaliknya, anak-anak yang masih diliputi sikap dan prilaku mementingkan diri sendiri itu hanya akan mampu memahami kaidah sosial yang hanya menyadari kesalahan sosialnya dan sekaligus berprilaku moral secara memadai, pengenalan mereka terhadap wewenang orang dewasa dan penerimaan mereka terhadap wewenang orang dewasa dan penerimaan mereka terhadap aturannya perlu ditanamkan.
2.5. Sikap dan Prilaku Moral menurut Lawrence Kohlberg
Apabila awal masa kanak-kanak akan berakhir, konsep moral anak tidak lagi sesempin dan sekhusus sebelumnya. Anak yang lebih besar lambat laun memperluas sosialnya sehingga mencakup situasi apa saja, lebih dari hanya situasi khusus. Disamping itu, anak yang lebih besar menemukan bahwa kelompok sosial terlibat dalam berbagai tingkat kesungguhan pada pelbagai macam perbuatan. Pengetahuan ini kemudian digabungkan dalam konsep moral.
Kholberg memperluas teori piaget dan menamakan tingkat kedua dari perkembangan moral akhir pada masa kanak-kanak sebagai tingkat moralitas konvensional  atau moralitas dari aturan-aturan dan penyesuaian konvensioanal. Dalam tahap pertama dari tingkat ini oleh kholberg disebutkan moralitas anak baik, anak mengikuti peraturan untuk mengambil hati orang lain dan untuk mempertahankan hubungan-hubungan yang baik. Dalam tahap kedua, Kholberg mengatakan bahawa bahwa kelompok sosial menerima peraturan-peraturan yang sesuai bagi semua anggota kelompok, ia harus menyesuaikan diri dengan peraturan untuk menghindari penolakan kelompok dan celaan.
2.6. Perkembangan Kode Moral menurut Lawrence Kholberg
Kode moral berkembang dari konsep-konsep moral yang umum. Pada akhir masa kanak-kanak seperti halnya awal masa remaja, kode moral sangat dipengaruhi oleh standar moral dari kelompok dimana anak mengidentifikasikan diri. Ini tidak berarti anak meninggalkan kode moral keluarga untuk mengikuti kode kelompok tempat ia bergabung. Hal ini berarti, jikalau anak harus memilih, anak akan mengikuti standar-standar geng selama mereka bersama dengan geng sebagai sarana  untuk mempertahankan statusnya dalam geng.
Ketika anak mencapai akhir masa kanak-kanak, kode moral berangsur-angsur mendekati kode moral dewasa, yang dengannya anak berhubungan dan perilakunya semakin sesuai dengan standar-standar yang ditetapkan oleh orang dewasa. Dilaporkan bahwa anak yang mempunyai IQ tinggi cenderung lebih matang dalam penilaian moral daripada anak yang tingkat kecerdasannya  lebih rendah, dan anak perempuan cenderung penilaian moral yang lebih matang dari pada anak laki-laki.
2.7. Peranan Disiplin dalam Perkembangan Moral menurut Lawrence Kholberg
Disiplin berperan penting dalam perkembangan kode moral. Meskipun anak memerlukan disiplin, disiplin merupakan hal yang serius bagi anak yang lebih besar. Penggunaan secara kontinu teknik-teknik disiplin yang ternyata efektif ketika anak masih kecil, cenderung menyebabkan kebencian pada anak yang lebih besar, kalau disiplin dibutuhkan dalam perkembangan, haruslah disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Berikut ini esensi-esensi disiplin bagi anak yang lebih besar:
1.      Bantuan dalam mendasarkan kode moral
Dalam kasus anak yang lebih besar, pengajaran mengenal benar dan salah seyogyanya menekankan alasan mengapa pola prilaku tertentu diterima dan mengapa pola lain tidak diterima, dan seyogyanya diarahkan untuk menolong anak memperluas konsep tertentu menjadi konsep yang lebih luas dan lebih abstrak.
2.      Ganjaran
Ganjaran, seperti pujian atau perlekuan secara khusus karena berhasil mengatasi situasi sulit dengan baik, mempunyai nilai pendidikan yang kuat jika pujian dan perlakuan khusus menunjukan pada anak bahwa ia bertindak benar dan juga jika mendorong anak untuk mengulang perilaku yang baik. Bagaimanapun juga, jikalau pujian dan perlakuan khusus harus sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan anak.
3.      Hukuman
Seperti ganjaran, hukuman harus sesuai dengan perkembangan dan harus dilakukan secara adil, kalau tidak dapat menimbulkan kebencian anak. hukuman juga harus mendorong anak untuk menyesuaikan diri dengan harapan sosial dimasa berikutnya.
4.      Konsistensi
Disiplin yang baik selalu konsisten apa yang benar hari ini. Besok juga benar dan lusapun juga benar. Perbuatan yang salah harus mendapatkan hukuman yang sama jika perbuatan itu setiap kali diulang, dan perbuatan yang benar juga harus mendapatkan ganjaran yang sama.
2.8. Prinsip Filosofis-Eoritis menurut Lawrence Kohlberg
Dilihat dari filosofis-eoritisnya, L. Kohlberg berprinsip bahwa perkembangan moral hanya mungkin terjadi melalui penalaran dan moral konflict. Sedangkan kaum relativsm berprinsip bahwa perkembangan moral itu terjadi melalui sentuhan dan pembinaan dunia efektual serta sesuatu yang diyakininya.
yang diyakininya. Sementara secara afikatif pendidikan Kohlberg lebih menekankan pada cara pengkajian mendalam dengan menggunakan nalar sehingga memungkinkan moral seseorang itu berkembang, serta dengan menghadirkan moral conflict dan pembinaan keterampilan memecahkan masalah (problem solving skills).
2.9. Model Pendekatan Pendidikan Nilai Moral menurut Thomas Lickona
Menurut Thomas Lickona, sebagaimana yang telah dikutip oleh Kosasih (1996) maupun suripto (1989) mengemukakan adanya lima model pendekatan pendidikan nilai moral yang dilaksanakan, yakni pendekatan:
1.      Perkembangan moral kognitif (Cognitive Moral Development) yang dipelopori oleh L. Kohlberg; yang meyakini bahwa NMNr atau dunia afektif hanya mampu berkembang jika terjadi proses kognitif khususnya cognitive conflict dan penalaran.
2.      Perkembangan Moral secara Afektual (affective/attitudional/psychological Moral Development) yang dianut oleh L. Metcalf, Justian Aronfreed, Imam Al Ghazali dan lain-lain; yang meeyakini bahwa dunia afektif bisa dibina dan dididik melalui pendekatan dan strategi khusus, dengan mempribadikan NMNr.
3.      Perkembangan Moral secara Social Learning Approach atau social Behavioral Moral Development atau Self Regulation Model melalui Immitation Learning Model fengan tokoh yaitu: Walter Michel, A. bandura, dan Skinner.
4.      Perkembangan Moral secara Biologis (Biological Moral Development) dengan tokoh utama H.J. eysenk; yang pada hakikitnya mengemukakan keharusan keterkaitan pembinaan diknil denganperkembangan biologis manusia.
5.      Pembinaan NMNr secara Holistik (Holistic Approach) dengan tokoh utamanya Elizabeth Leonie dan Simpson; yang mendalilkan keharusan pembinaan diri manusia secara holistik (utuh-menyentuh).
Operasionalisasi sejumlah pendekatan pendidikan nilai-moral sebagaimana dipaparkan diatas, dapat dilaksanakan dalam proses pembelajaran melalui pendekatan, antara lain:
1.      Evocation
Dimana peserta didik diberikan kesempatan bebas untuk merespon stimulus pembelajaran secara spontan.
2.      Inculcation
Dimana peserta didik melalui stimulus terarah atau condisioned stimulus “digiring” secara sugestif menuju respon-terarah atau condicioned respond sehingga kelak mampu menghasilkan hasil belajar yang terarah.
3.      Moral reasoning
Yang menjadi “jargon”-nya Kohlberg, dimana stimulus mengundang transaksi intelektual taksonomik tinggi ke arah menemukan pemecahan masalah atau temuan secara argumental.
4.      Value Clafication
Dimana melalui stimulus pembelajaran para siswa diajak untuk melakukan klarifikasi dan reasoning nilai moral yang termuat baik nilai moral onjektif maupun subjektif.
5.      Value Analysis
Dimana siswa diajak melakukan analisis nilai melalui melalui media stimulus sajian.
6.      Moral Awareness
Dimana melalui stimulus dan proses KBS tertentu maka potensi/struktur diri siswa khususnya dunia afektualnya dilibatkan dan diguncang kearah terbentuknya suatu pilihan yang mantap.
7.      Commitment Approach
Dimana sejak awal perancangan pembelajaran dan prosesnya, guru dan siswa “commited” atau menyepakati bahwa NMNr yang dijadikan landasan dan tuntutan ukuran; pancasila dan UUD 45 serta agama dan budaya indonesia (Pola P4 PPKN) dan (h) Union Approach; dimana siswa programatik substansil maupun KBS-nya dipadukan/disatukan dengan realita kehidupannya.






III
Kesimpulan
3.1.       Simpulan
Lawrence Kohlberg berdasarkan penelitiannya selama kurang lebih lima tahun menyimpulkan adanya tiga tingkat perkembangan moral. Masing-masing tingkat terbagi lagi atas dua tahap sehingga seluruhnya ada enam tahap. Tahap-tahap inilah yang akan membantu guru dalam melaksanakan tugasnya di sekolah untuk melihat perkembangan moral pada anak. Dalam teori Kohlberg ini guru bisa mengambil tindakan mana yang baik atau mana yang harus dilakukan untuk meningkatkan perkembangan moral anak.
3.2.       Saran
1.        Diharapkan guru dapat mengetahui teori-teori perkembangan moral terutama teori kholberg supaya guru mengetahui perkembangan moral anak sudah sampai mana.
2.        Diharapkan guru mencoba meneliti perkembangan moral anak, apakah perkembangan moral anak berkembang sesuai tahapan pada teori kohlberg atau tidak.
3.        Diharapkan guru menerapkan minimal membaca ataupun mengetahui teori Thomas Lickona, karena penting untuk mengidentifikasi perkembangan moral anak. Disinilah guru bisa mengetahui macam-macam pendekatan moral yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Tentunya, guru bisa membedakan perkembangan moral seperti apa yang dimiliki kelemahan atau kelebihan setiap anak dalam model pendekatan yang dikemukakan oleh Thomas Lickona.


DAFTAR PUSTAKA
Darmadi, H. (2007). Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung: Alfabeta.
Nana, S.S. (2005). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Syah, M. (2013). Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.                  
Elizabeth, B.H. (2004). Psikologi Perkembangan. Bandung: Wirahma Citra.
Asrori, M. (2009).Psikologi Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar