BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
beberapa tingkat perkembangan banyak sekali hal yang harus manusia ketahui
betapa pentingnya perkembangan yang dilewati oleh setiap orang dari tahap
pertama sampai tahap terakhir. Perkembangan tersebut bermacam-macam aspeknya
baik berupa kognitif,sosial, fisik, bahasa ataupun moral.
zaman
globalisasi ini pendidikan di indonesia lebih banyak menekankan pendidikan
merujuk kedalam konteks daya cipta atau kognitif dan ilmu pengetahuan yang
lainnya. Padahal perkembangan tingkah laku, sosial, ataupun moral sangatlah
penting untuk diajarkan kepada siswa-siswi di sekolah. Apalagi diterapkan
terhadap Pendidikan Anak Usia Dini, peran guru sangatlah penting dalam
memberikan stimulus sosial atau moral yang baik kepada peserta didik. Apabila perkembangan ini
di terapkan di indonesia maka sangat mungkin pendidikan indonesia lebih maju dan terpandang baik oleh negara lain.
Dimana, sistim pendidikannya mempunyai kelebihan yang berbeda dari pendidikan
lain.
Dalam
makalah ini akan menjelaskan perkembangan moral menurut Lawrence Kohlberg dan
Thomas Lickona. Lawrence Kohlberg dan
Thomas Lickona merupakan tokoh yang menjelaskan tentang perkembangan
moral.perkembangan tersebut mempunyai tahapan-tahapan tertentu, di dalam perkembangan
moral menurut Kholberg dan Lickona menjelaskan pula tentang penanan, prinsip
dan model pendidikan nilai moral.
1.1.Rumusan
Masalah
1. Siapa
Lawrence Kohlberg dan Thomas Lickona?
2. Apa
yang dimaksud dengan moral?
3. Apa
yang dimaksud dengan moral menurut Lawrence Kholberg?
4. Apa
saja tahapan-tahapan moral menurut Lawrence Kholberg?
5. Apa
yang dimaksud dengan kode moral menurut Lawrence Kholberg?
6. Apa
peranan disiplin dalam perkembangan moral menurut Lawrence Kholberg?
7. Apa
prinsip filosofis-eoritis menurut Lawrence Kholberg?
8. Apa
saja model pendekatan pendidikan nilai moral menurut Thomas Lickona?
1.2.Tujuan
1. Dapat
mengetahui biografi Lawrence Kholberg dan Thomas Lickona.
2. Dapat
mengetahui pengertian moral.
3. Dapat
mengetahui moral menurut Lawrence Kholberg.
4. Dapat
mengetahui tahapan-tahapan moral menurut Lawrence Kholberg.
5. Dapat
mengetahui kode moral menurut Lawrence Kholberg.
6. Dapat
mengetahui peranan disiplin dalam perkembangan moral menurut Lawrence Kholberg.
7. Dapat
mengetahui prinsip filosofis- eoritis menurut Lawrence Kholberg.
8. Dapat
mengetahui model pendekatan pendiidkan nilai moral menurut Thomas Lickona.
II
Pembahasan
2.1. Biografi Lawrence Kholberg dan
Thomas Lickona
2.2. Pengertian Moral
Istilah
moral berasal dari kata latin “mores”yang
artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat atau kebiasaan. Moral pada
dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus
dipatuhi. Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku
indipidu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral
merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai
sosial budaya dimana individu tersebut menjadi anggota komunitas sosial.
Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya
dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral
diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban,
dan keharmonisan.
Tokoh
yang paling dikenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan moral adalah
Lawrence E. Kholberg (1995). Melalui disertasinya yang sangat monumental yang
berjudul “ The Development of Modes Of
Moral Thinking and Choice in the Years 10 to 6” yang diselesaikan di
University of Chicago pada tahun 1958, dia melakukan penelitian empiris lintas
kelompok usia tentang cara pertimbangan moral terhadap 75 orang anak dan remaja
yang berasal dari daerah sekitar Chicago. Anak-anak itu dibagi menjadi tiga
kelompok usia, yakni kelompok usia 10,13, dan 16 tahun. Penelitiannya dilakukan
dengan cara menghadapkan para subjek penelitian/responden kepada berbagai
dilema moral dan selanjutnya mencatat semua reaksi mereka. Dalam pandangan
Kholberg, sebagaimana juga pandangan Jean Piaget (salah seorang yang
dikaguminya), berdasarkan penelitiannya itu sangat tampak bahwa anak-anak dan
remaja itu menafsirkan segala tindakan dan perilakunya sesuai dengan struktur
mental mereka sendiri. Mereka menilai hubungan sosial dan perbuatan tertentu
sebagai “adil” atau “tidak adil”, “baik” atau “buruk” juga seiring dengan
tingkat perkembangan atau struktur moral mereka masing-masing.
2.3. Pengertian Moral menurut
Lawrence Kholberg
Berdasarkan
penelitiannya, dari pengertian diatas Kholberg menarik sejumlah kesimpulan
sebagai berikut:
1. Penilaian
dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan moral bukanlah
soal perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung suatu tafsiran kognitif
terhadap keadaan dilema moral dan bersikap konstruktif kognitif yang bersifat
aktif terhadap titik pandang masing-masing individu sambil mempertimbangkan
segala macam tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan setiap pribadi terhadap
sesuatu yang baik dan adil. Kesemuanya itu merupakan tindakan kognitif;
2. Terdapat
sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal harus
diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawakan
perbuatan moralnya;
3. Membenarkan
gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah mencapai
tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral. Sebagaimana penelitian Piaget telah membuktikan bahwa
baru pada masa remaja pola pemikiran operasional-formal berkembang. Demikian
pula Kholberg menunjukan adanya kesejajaran dengan perkembangan kofnitif dengan
perkembangan moral, yaitu bahwa pada masa remaja dapat juga dicapai tahap
tertinggi perkembangan moral yang ditandai dengan kemampuan remaja menerapkan
prinsip keadilan universal pada penilaian moralnya.
2.4. Tahap-tahap Perkembangan Moral
menurut Lawrence Kholberg
Adapun
tahap-tahap perkembangan moral yang sangat dikenal keseluruh dunia adalah yang
dikemukakan oleh Lawrence Kholberg (1995), yakni sebagai berikut:
1.
Tingkat
Prankonvensional
Pada
tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan
budaya mengenai baik dan buruk serta benar dan salah. Namun demikian, semua ini
masih ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan, seperti:
hukuman, keuntungan, dan pertukaran kebaikan atau dari segi kekuatan fisik
mereka yang memaklumkan peraturan.
Tingkat prakonvensional
ini memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan
Pada tahap ini,
akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan
arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata
menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya.
Tahap 2: orientasi relativis-instrumental
Pada tahap ini,
perbuatan yang dianggap benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat
untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang
lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar yang
berorientasi pada untung rugi. Disini terdapat pada elemen kewajaran tindakan
yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara
fisik dan pragmatis. Resiprositas ini dilukiskan oleh Kholberg (1995) dengan
kalimat: “jika engkau mau menggarukan
punggungku, maka aku juga akan menggarukan punggungmu”. Jadi hubungan disini
bukan atas dasar loyalitas, rasa terima kasih, atau keadilan.
2.
Tingkat
Konvensional
Pada
tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok, atau masyarakat.
Semua itu dipandang sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri tanpa
mengindahkan akibat yang bakal muncul. Sikap anak bukan saja konformitas
terhadap pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya dan
secara aktif mempertahankan, mendukung, dan membenarkan seluruh tata tertib itu
serta mengidentifikasikan diri dengan orang atau kelompok yang terlibat.
Tingkat konvensional
ini memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap
3: Orientasi kesepakatan antara pribadi
atau disebut orientasi “Anak Manis”
Pada tahap ini,
perilaku yang dipandang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain
serta yang disetujui oleh mereka. Terdapat banyak konformitas terhadap gambaran
stereo tipe mengenai apa itu perilaku mayoritas atau alamiah. Perilaku sering
dinilai menurut niatnya sehingga seringkali muncul pikiran dan ucapan “ sebenarnya dia bermaksud baik” .
Mereka berpandangan bahwa orang akan
mendapatkan persetujuan orang lain dengan cara menjadi orang yang baik.
Tahap 4: Orientasi
hukum dan ketertiban
Pada tahap ini,
terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib
sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri,
menghormati otoritas, dan menjaga tata tertib sosial yang ada. Semua ini
dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya.
3.
Tingkat
Pascakonvensional, Otonom, atau Berlandaskan Prinsip
Pada
tingkat ini, terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip
moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas
kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula
dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut.
Tingkat ini memiliki
dua tahap, yaitu:
Tahap 5: Orientasi Kontak Sosial Legalitas
Pada tahap ini,individu
pada umumnya bernada utilitarian. Artinya, perbuatan yang baik cenderung
dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran umum yang telah diuji secara kritis
dan telah disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini juga sudah terdapat
kesadaran yang jelas mengenai
relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai relativisme nilai tersebut,
terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan,
terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis,
dan hak adalah masalah “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya dalah penekanan
pada sudut pandang legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk
mengubah hukum berdasaarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial.
Diluar bidang hukum, persetujuan bebas dan kontrak merupakan unsur pengikat
kewajiban.
Tahap 6: Orientasi
Prindip Etika Universal
Pada tahap ini, hak
ditentukan oleh keputusan suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang
dipilih sendiri yang mengacu kepada komprehensivitas logis, universalitas, dan
konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis serta bukan
merupakan peraturan moral konkret. Pada daasarnya, inilah prinsip-prinsip
universal keadilan, resiprositas, dan persamaan hak azasi manusia, serta rasa
hormat kepada manusia sebagai pribadi.
Berdasarkan
tingkatan dan tahap-tahap perkembangan moral itu, kemudian Kohlberg (1995)
menerjemahkannya kedalam motif-motif individu dalam melakukan perbuatan moral.
Sesuai dengan tahap-tahap perkembangan moral, maka motif-motif perilaku moral
manusia adalah sebagai berikut:
Tahap 1: perbuatan moral individu
dimotivasi oleh penghindaran terhadap hukumandan suara hati pada dasarnya
merupakan ketakutan irasional terhadap hukuman.
Tahap 2: perbuatan moral individu
dimotivasi oleh keinginan untuk mendapat ganjaran dan keuntungan. Dangat boleh
jadi reaksi rasa bersalah diabaikan dan hukuman dipandang secara pragmatis
sehingga membedakan rasa takut, rasa nikmat, atau rasa sakit dari akibat
hukuman.
Tahap 3: perbuatan moral individu
dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan orang lain, baik yang nyata atau
yang dibayangkan secara hipotesis.
Tahap 4: perbuatan moral individu
dimotivasi oleh antisipasi terhadap
celaan yang mendalam karena kegagalan dalam melaksanakan kewajiban dan
rasa diri bersalah atas kerugian yang dilakukan terhadap orang lain.
Tahap 5: perbuatan moral individividu
dimotivasi oleh keprihatinan terhadap supaya mempertahankan rasa hormat
terhadap orang lain dan masyarakat yang didasarkan atas akal budi dan bukan
berdasarkan emosi, keprihatinan terhadap rasa hormat bagi diri sendiri. Misalnya,
untuk menghindari sikap menghakimi diri sendiri sebagai makhluk yang tidak
rasional, tidak konsisten, dan tanpa tujuan.
Tahap 6: perbuatan moral individu
dimotivasi oleh keprihatinan terhadap sikap mempersalahkan diri karena
melanggar prinsip-prinsipnya sendiri. Individu cenderung membedakan antara rasa
hormat dari masyarakat dengan rasa hormat diri sendiri, antara rasa hormat
terhadap diri karena mencapai rasionalitas dengan rasa hormat terhadap diri
sendiri karena mampu mempertahankan prinsip-prinsip moral.
Disamping
itu pula Piaget dan Kohlberg menekankan bahwa pemikiran seorang anak, terutama
ditentukan oleh kematangan kapasitas kognitifnya. Sedangkan disisi lain,
lingkungan sosial merupakan pemasok materi mentah yang akan diolah oleh ranah
kognitif anak secara aktif. Dalam interaksi sosial dengan teman-teman
sepermainan sebagai contoh, terdapat dorongan sosial yang menantang anak
tersebut untuk mengubah orientasi moralnya.
Pada
tahap perkembangan kognitif yang memungkinkan sikap dan prilaku egosentrisme
seorang anak berkurang, lazimnya pertimbangan moral (moral reasoning) anak tersebut menjadi lebih matang. Sebaliknya,
anak-anak yang masih diliputi sikap dan prilaku mementingkan diri sendiri itu
hanya akan mampu memahami kaidah sosial yang hanya menyadari kesalahan
sosialnya dan sekaligus berprilaku moral secara memadai, pengenalan mereka
terhadap wewenang orang dewasa dan penerimaan mereka terhadap wewenang orang
dewasa dan penerimaan mereka terhadap aturannya perlu ditanamkan.
2.5. Sikap dan Prilaku Moral
menurut Lawrence Kohlberg
Apabila
awal masa kanak-kanak akan berakhir, konsep moral anak tidak lagi sesempin dan
sekhusus sebelumnya. Anak yang lebih besar lambat laun memperluas sosialnya
sehingga mencakup situasi apa saja, lebih dari hanya situasi khusus. Disamping
itu, anak yang lebih besar menemukan bahwa kelompok sosial terlibat dalam
berbagai tingkat kesungguhan pada pelbagai macam perbuatan. Pengetahuan ini
kemudian digabungkan dalam konsep moral.
Kholberg
memperluas teori piaget dan menamakan tingkat kedua dari perkembangan moral
akhir pada masa kanak-kanak sebagai tingkat moralitas
konvensional atau moralitas dari
aturan-aturan dan penyesuaian konvensioanal. Dalam tahap pertama dari tingkat
ini oleh kholberg disebutkan moralitas
anak baik, anak mengikuti peraturan untuk mengambil hati orang lain dan
untuk mempertahankan hubungan-hubungan yang baik. Dalam tahap kedua, Kholberg
mengatakan bahawa bahwa kelompok sosial menerima peraturan-peraturan yang
sesuai bagi semua anggota kelompok, ia harus menyesuaikan diri dengan peraturan
untuk menghindari penolakan kelompok dan celaan.
2.6. Perkembangan Kode Moral
menurut Lawrence Kholberg
Kode
moral berkembang dari konsep-konsep moral yang umum. Pada akhir masa
kanak-kanak seperti halnya awal masa remaja, kode moral sangat dipengaruhi oleh
standar moral dari kelompok dimana anak mengidentifikasikan diri. Ini tidak
berarti anak meninggalkan kode moral keluarga untuk mengikuti kode kelompok
tempat ia bergabung. Hal ini berarti, jikalau anak harus memilih, anak akan
mengikuti standar-standar geng selama mereka bersama dengan geng sebagai
sarana untuk mempertahankan statusnya
dalam geng.
Ketika
anak mencapai akhir masa kanak-kanak, kode moral berangsur-angsur mendekati
kode moral dewasa, yang dengannya anak berhubungan dan perilakunya semakin
sesuai dengan standar-standar yang ditetapkan oleh orang dewasa. Dilaporkan
bahwa anak yang mempunyai IQ tinggi cenderung lebih matang dalam penilaian
moral daripada anak yang tingkat kecerdasannya
lebih rendah, dan anak perempuan cenderung penilaian moral yang lebih
matang dari pada anak laki-laki.
2.7. Peranan Disiplin dalam
Perkembangan Moral menurut Lawrence Kholberg
Disiplin
berperan penting dalam perkembangan kode moral. Meskipun anak memerlukan
disiplin, disiplin merupakan hal yang serius bagi anak yang lebih besar.
Penggunaan secara kontinu teknik-teknik disiplin yang ternyata efektif ketika
anak masih kecil, cenderung menyebabkan kebencian pada anak yang lebih besar,
kalau disiplin dibutuhkan dalam perkembangan, haruslah disesuaikan dengan
tingkat perkembangan anak. Berikut ini esensi-esensi disiplin bagi anak yang
lebih besar:
1. Bantuan
dalam mendasarkan kode moral
Dalam
kasus anak yang lebih besar, pengajaran mengenal benar dan salah seyogyanya
menekankan alasan mengapa pola prilaku tertentu diterima dan mengapa pola lain
tidak diterima, dan seyogyanya diarahkan untuk menolong anak memperluas konsep
tertentu menjadi konsep yang lebih luas dan lebih abstrak.
2. Ganjaran
Ganjaran,
seperti pujian atau perlekuan secara khusus karena berhasil mengatasi situasi
sulit dengan baik, mempunyai nilai pendidikan yang kuat jika pujian dan
perlakuan khusus menunjukan pada anak bahwa ia bertindak benar dan juga jika
mendorong anak untuk mengulang perilaku yang baik. Bagaimanapun juga, jikalau
pujian dan perlakuan khusus harus sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan
anak.
3. Hukuman
Seperti
ganjaran, hukuman harus sesuai dengan perkembangan dan harus dilakukan secara
adil, kalau tidak dapat menimbulkan kebencian anak. hukuman juga harus
mendorong anak untuk menyesuaikan diri dengan harapan sosial dimasa berikutnya.
4. Konsistensi
Disiplin yang
baik selalu konsisten apa yang benar hari ini. Besok juga benar dan lusapun
juga benar. Perbuatan yang salah harus mendapatkan hukuman yang sama jika
perbuatan itu setiap kali diulang, dan perbuatan yang benar juga harus
mendapatkan ganjaran yang sama.
2.8. Prinsip Filosofis-Eoritis
menurut Lawrence Kohlberg
Dilihat
dari filosofis-eoritisnya, L. Kohlberg berprinsip bahwa perkembangan moral
hanya mungkin terjadi melalui penalaran dan moral konflict. Sedangkan kaum
relativsm berprinsip bahwa perkembangan moral itu terjadi melalui sentuhan dan
pembinaan dunia efektual serta sesuatu yang diyakininya.
yang
diyakininya. Sementara secara afikatif pendidikan Kohlberg lebih menekankan
pada cara pengkajian mendalam dengan menggunakan nalar sehingga memungkinkan
moral seseorang itu berkembang, serta dengan menghadirkan moral conflict dan
pembinaan keterampilan memecahkan masalah (problem solving skills).
2.9. Model Pendekatan Pendidikan
Nilai Moral menurut Thomas Lickona
Menurut
Thomas Lickona, sebagaimana yang telah dikutip oleh Kosasih (1996) maupun
suripto (1989) mengemukakan adanya lima model pendekatan pendidikan nilai moral
yang dilaksanakan, yakni pendekatan:
1. Perkembangan
moral kognitif (Cognitive Moral Development) yang dipelopori oleh L. Kohlberg;
yang meyakini bahwa NMNr atau dunia afektif hanya mampu berkembang jika terjadi
proses kognitif khususnya cognitive
conflict dan penalaran.
2. Perkembangan
Moral secara Afektual (affective/attitudional/psychological Moral Development)
yang dianut oleh L. Metcalf, Justian Aronfreed, Imam Al Ghazali dan lain-lain;
yang meeyakini bahwa dunia afektif bisa dibina dan dididik melalui pendekatan
dan strategi khusus, dengan mempribadikan NMNr.
3. Perkembangan
Moral secara Social Learning Approach atau social Behavioral Moral Development
atau Self Regulation Model melalui Immitation Learning Model fengan tokoh
yaitu: Walter Michel, A. bandura, dan Skinner.
4. Perkembangan
Moral secara Biologis (Biological Moral
Development) dengan tokoh utama H.J. eysenk; yang pada hakikitnya
mengemukakan keharusan keterkaitan pembinaan diknil denganperkembangan biologis
manusia.
5. Pembinaan
NMNr secara Holistik (Holistic Approach) dengan tokoh utamanya Elizabeth Leonie
dan Simpson; yang mendalilkan keharusan pembinaan diri manusia secara holistik
(utuh-menyentuh).
Operasionalisasi
sejumlah pendekatan pendidikan nilai-moral sebagaimana dipaparkan diatas, dapat
dilaksanakan dalam proses pembelajaran melalui pendekatan, antara lain:
1. Evocation
Dimana peserta didik
diberikan kesempatan bebas untuk merespon stimulus pembelajaran secara spontan.
2. Inculcation
Dimana peserta didik
melalui stimulus terarah atau condisioned stimulus “digiring” secara sugestif menuju
respon-terarah atau condicioned respond sehingga kelak mampu menghasilkan hasil
belajar yang terarah.
3. Moral
reasoning
Yang menjadi
“jargon”-nya Kohlberg, dimana stimulus mengundang transaksi intelektual
taksonomik tinggi ke arah menemukan pemecahan masalah atau temuan secara
argumental.
4. Value
Clafication
Dimana melalui stimulus
pembelajaran para siswa diajak untuk melakukan klarifikasi dan reasoning nilai
moral yang termuat baik nilai moral onjektif maupun subjektif.
5. Value
Analysis
Dimana siswa diajak
melakukan analisis nilai melalui melalui media stimulus sajian.
6. Moral
Awareness
Dimana melalui stimulus
dan proses KBS tertentu maka potensi/struktur diri siswa khususnya dunia
afektualnya dilibatkan dan diguncang kearah terbentuknya suatu pilihan yang mantap.
7. Commitment
Approach
Dimana sejak awal
perancangan pembelajaran dan prosesnya, guru dan siswa “commited” atau
menyepakati bahwa NMNr yang dijadikan landasan dan tuntutan ukuran; pancasila
dan UUD 45 serta agama dan budaya indonesia (Pola P4 PPKN) dan (h) Union
Approach; dimana siswa programatik substansil maupun KBS-nya
dipadukan/disatukan dengan realita kehidupannya.
III
Kesimpulan
3.1. Simpulan
Lawrence
Kohlberg berdasarkan penelitiannya selama kurang lebih lima tahun menyimpulkan
adanya tiga tingkat perkembangan moral. Masing-masing tingkat terbagi lagi atas
dua tahap sehingga seluruhnya ada enam tahap. Tahap-tahap inilah yang akan
membantu guru dalam melaksanakan tugasnya di sekolah untuk melihat perkembangan
moral pada anak. Dalam teori Kohlberg ini guru bisa mengambil tindakan mana
yang baik atau mana yang harus dilakukan untuk meningkatkan perkembangan moral
anak.
3.2.
Saran
1.
Diharapkan guru dapat mengetahui
teori-teori perkembangan moral terutama teori kholberg supaya guru mengetahui perkembangan
moral anak sudah sampai mana.
2.
Diharapkan guru mencoba meneliti
perkembangan moral anak, apakah perkembangan moral anak berkembang sesuai
tahapan pada teori kohlberg atau tidak.
3.
Diharapkan guru menerapkan minimal
membaca ataupun mengetahui teori Thomas Lickona, karena penting untuk mengidentifikasi
perkembangan moral anak. Disinilah guru bisa mengetahui macam-macam pendekatan
moral yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Tentunya, guru bisa
membedakan perkembangan moral seperti apa yang dimiliki kelemahan atau
kelebihan setiap anak dalam model pendekatan yang dikemukakan oleh Thomas
Lickona.
DAFTAR
PUSTAKA
Darmadi, H. (2007). Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung:
Alfabeta.
Nana, S.S.
(2005). Landasan Psikologi Proses
Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Syah,
M. (2013). Psikologi Pendidikan.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Elizabeth,
B.H. (2004).
Psikologi Perkembangan. Bandung: Wirahma Citra.
Asrori,
M. (2009).Psikologi
Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar